Ilmu Nahwu lahir sebagai respon atas
merebaknya kesalahan pengucapan dalam kehidupan berbahasa Arab. Sebelum dikenal
akrab dengan Ilmu Nahwu, pengetahuan tata bahasa Arab ini lebih familiar dengan
sebutan Ilmu Arabiyah (Ilmu Bahasa Arab).
Kesalahan pengucapan ini sebenarnya juga
terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Hanya saja, kasus-kasus kesalahan berbahasa
ini merebak setelah penutur asli bahasa
Arab hidup berbarengan dengan penutur asli bahasa non-Arab.
Peletak dasar pertama Ilmu Nahwu dalam satu riwayat adalah
Ali bin Abi Thalib dan pada riwayat lain adalah muridnya yang bernama Abu
al-Aswad ad-Duali.
Menurut riwayat pertama, Ali bin Abi Thalib melihat terjadi
banyak kesalahan dalam pengucapan bahasa Arab oleh masyarakat Irak akibat dari
interaksi bangsa Arab dengan bangsa Persia. Pernah beliau mendengar seorang
badui salah membaca ayat al-Qur’an yang berbunyi:
لَا يأكله إلا الخاطِئُوْنَ dia baca الخاطئِيْنَ
Atas keprihatian ini, Ali berinisiatif
menyusun suatu rujukan yang memuat tata bahasa Arab agar bisa dijadikan pedoman.
Sedangkan versi riwayat kedua,
menyatakan bahwa jauh sebelum Ali, Abu al-Aswad pernah diminta Khalifah Umar
bin Khaththab untuk menyusun Nahwu. Itu karena Umar melihat seorang badui yang
melakukan kesalahan ketika membaca al-Qur’an. Ayat yang berbunyi:
إن اللهَ بريء من المشركين وَرَسُوْ لُهُ
Dia baca menjadi وَرَسُوْلِهِ
Di samping itu, Khalifah Umar pernah
mengirim sepucuk surat kepada gubernurnya di Irak yang bernama Abu Musa al-Asy’ari
dimana salah satu isinya menyuruh Abu al-Aswad agar mengajari penduduk Bashrah
soal i’rab (Nahwu).
Bahkan, kesalahan pengucapan ini
pernah Abu al-Aswad saksikan dilakukan oleh anak perempuannya sendiri. Karena ingin
menunjukkan kekagumannya pada indahnya malam, putrinya berkata:
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ
Padahal seharusnya dia berkata:
مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ yang artinya alangkah indah
langit ini!
Sedangkan yang dia katakan tadi justru
kalimat tanya: apakah yang paling indah di langit?
Untuk menjembatani dua versi riwayat
ini, Abdullah Muzakki, Lc. M.Hum dalam bukunya Pengantar Studi Nahwu (2015)
kurang lebih menulis:
Adapun Ali bin Abi Thalib merupakan
orang pertama yang menyusun dasar-dasar ilmu Nahwu. Beliau adalah orang pertama yang menulis bahwa
kalam dibagi menjadi isim (kata benda), fi’il (kata kerja)
dan harf (partikel fungsional). Beliau menyusunnya dengan memakai
paradigma sima’i (berkiblat pada pengucapan
yang umum didengar dari mulut orang Arab).
Sedangkan Abu al-Aswad ad-Dauli
adalah orang pertama yang menyusun bangunan kaidah dan tata bahasa dalam Ilmu
Nahwu. Berbeda dengan sahabat Ali, Abu al-Aswad sudah mengembangkan paradigma qiyas
(analogi). Di tangannya, Nahwu menjadi ilmu yang jauh lebih rasional
sehingga memudahkan untuk dipelajari. Dia adalah orang pertama yang menulis
tentang sistem i’rab. Adapun i’rab kerap dimaknai dengan
perubahan akhir kata mengikuti perubahan jabatannya dalam struktur kalimat. Menurut
al-Khalil bin Ahmad, topik i’rab adalah episentrum persoalan Ilmu Nahwu.
Setelah mengalami rasionalisasi, Ilmu
Nahwu berkembang pesat dan sering dipelajari.
Namun tidak jarang kita mendengar
kalau Bahasa Arab lebih susah daripada bahasa lain. Benarkah?
Memangnya sesulit apakah sih bahasa
Arab itu? Temukan jawabannya di bagian ketiga.